Oleh: Ma’mun Afani
Anggota Manajemen Penulis Indonesia
“TIDAKKAH melihat pengungsi Syiah dari Sampang yang sejak 2012
terlantar?” Alasan-alasan seperti ini adalah alasan yang lazim
dilontarkan dengan dalih kemanusiaan. Alasan yang sebenarnya sangat
mirip seperti dilontarkan para pembela pelacur di lokalisasi, “Kalau
lokalisasi dibubarkan mau makan apa keluarga mereka?” Dalihnya lagi-lagi
kemanusiaan.
Bila diteliti lebih dalam maka alasan tersebut sebenarnya tidak
tepat. Dalam kasus pengungsian penganut Syiah masalah sebenarnya adalah
terganggunya penduduk setempat dengan dakwah yang dijalankan oleh
penganut Syiah, Tajul Muluk. Artinya penduduk setempat yang terganggu.
Maka wajar jika kemudian diusir.
Faktanya detik.com juga melansir bahwa kerusuhan saat itu bermula
saat salah seorang masyarakat Sunni terkena bom bondet (untuk mencari
ikan) yang berisi gotri yang tertanam di pemukiman, nyawa ketika itu
bisa merenggang.
Maka seharusnya dengan alasan kemanusiaan pula justru harus
ditanyakan ulang, “Apa Anda hanya diam jika nyawa terancam
berulang-ulang?” Oleh sebab itu jangan membalik alasan dengan sengsara
di pengungsian karena tidak bisa kembali ke warga sekitar. Apalagi MUI
Jawa Timur sudah mengeluarkan fatwa No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 bahwa
Syiah bukanlah Islam, maka kehadirannya yang mengganggu penduduk lebih
dari enam tahun tidak bisa ditolelir.
Alasan seperti itu sebenarnya sama saja dengan membalik alasan
pelacur, “Kenapa tidak berpikir berapa keluarga yang hancur akibat
pelacuran? Berapa anak yang rusak karena hidup di pelacuran? Bagaimana
jika Ibu Anda menjadi pelacur?” Oleh sebab itu sepatutnya jangan
menggunakan lagi alasan klise tersebut apalagi dengan dasar kemanusiaan.
Seharusnya tanyakan hati nurani, “Siapa sebenarnya yang tidak
manusiawi?”
Wajar jika kemudian paska penyerangan di Majelis Az-Zikra Ust. Arifin
Ilham menyerukan untuk jihad mengingat yang mematik sumbu api adalah
penganut Syiah itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pernyataannya didahului
dengan, “Kami tidak akan berperang kecuali kalau diperangi, sangat
biadab masuk ke wilayah kami, menghina kami menginjak-injak kami
menculik kami…”
Dari penyampaian tersebut terlihat sangat bijak bahwa seorang muslim
akan tetap santun kecuali jika diusik. Maka sangat tidak arif jika hanya
melihat kata Jihad yang disuarakan oleh Ust. Arifin Ilham, tapi
telusuri mengapa Ust. Arifin Menyuarakan Jihad.
Jika analogi ini diterapkan pada pemasangan spanduk yang mematik
emosi dan beralasan, “Jangan salahkan penganut Syiah yang menyerang,
tapi salahkan sepanduk yang menolak paham Syiah yang tertempel.” Maka
seharusnya penganut Syiah menyadari bahwa spanduk tersebut dalam rangka
penegasan sebuah identitas penganut Syiah atau Muslim, terlebih
terpampang di masjid Az Zikra yang memang sebagai tempat beribadah umat
Islam. spanduk tersebut tak ubahnya seperti menulis, “Kami Islam bukan
Kristen”. Ini di wilayah masjid Az Zikra.
Pemasangan spanduk tersebut sebenarnya dilandasi kesadaran bahwa
paham Syiah sangat berbahaya, baik dari keberagamaan, maupun keamanan.
Dalam Syiah diajarkan bahwa Ahlusunnah adalah Nawasib yang
darah dan hartanya halal untuk ditumpahkan. Alasannya tentu saja karena
Ahlussunnah mencintai Nabi dan para sahabatnya. Sedangkan para sahabat
selain Ali RA. bagi penganut Syiah adalah makhluk yang terkutuk.
Pendapat seperti ini sangat mudah ditemukan dalam beragam kitab rujukan
Syiah. Oleh sebab itu spanduk tersebut sebenarnya adalah penegasan bahwa
kami adalah muslim dan bukan Syiah seperti layaknya dilakukan oleh umat
muslim lain di Indonesia.