Oleh: Ayoub El Marhoum
Nazi hipster! Begitulah reaksi geram seorang 9gager, sebutan
untuk pengguna situs berbagi gambar 9gag.com, ketika melihat foto yang
dibagikan salah seorang pengunggah. Foto itu memperlihatkan dua orang
pemuda di kota Taipei berjalan santai memakai kaos bergambar swastika.
Mungkin bagi dua pemuda itu, gambar di kaos mereka bukanlah apa-apa,
bahkan mungkin saja itu berarti suatu harapan semoga kebaikan memenuhi
dunia. Namun tidak bagi si pengguna situs 9gag dan kebanyakan orang
Eropa bahkan dunia.
Bagi mereka, swastika adalah lambang teror, swastika adalah
kamar-kamar gas tempat enam juta Yahudi tak berdosa dipanggang Hitler,
swastika adalah Nazi. Sebab swastika adalah Nazi, maka swastika adalah
setan alas dan memakainya di baju adalah kejahatan pada seluruh umat
manusia. Terutama dan terkhusus sekali komunitas Yahudi yang sejarahnya
sudah cukup pahit itu.
Jika ada simbol di dunia ini yang mengalami distorsi makna paling
tragis tentulah swastika. Selama puluhan ribu tahun, simbol tersebut
menjadi tanda bagi kebaikan. Hal itu bisa terbaca dari nama yang
disematkan orang-orang pengguna bahasa Sansekerta kepadanya ; swastika.
Nama itu berasal dari kata “Su” yang berarti baik, kata “Asti” yang
berarti adalah dan akhiran “Ka” yang membentuk kata sifat menjadi kata
benda. Sehingga lambang Swastika merupakan bentuk simbol atau gambar
dari terapan kata Swastyastu (semoga dalam keadaan baik).
Simbol yang konon merupakan salah satu simbol tertua di dunia ini
telah menjadi lambang pengharapan kebaikan di berbagai kebudayaan. Mulai
dari Yunani hingga bangsa kulit merah penghuni benua Amerika, dari
peradaban Indus hingga orang-orang Islam di Banjar. Namun semua itu
berubah ketika negara Nazi menyerang!
Sejarah buruk swastika berawal dari sebuah bendera yang berkibar
anggun di tepi danau Tagernsee, memperlihatkan swastika yang
dimiringkan, berlatar merah berwarna hitam. Bendera cantik yang segera
berubah horor itu dibuat dengan penuh dedikasi oleh seorang dokter gigi,
Dr. Krohn.
Dokter gigi yang mendapat penghormatan dengan disebutkan di dalam
kitab suci Nazi, Mein Kampf. Sejarah memang terkadang lucu. Hitler
sendiri menjelaskan tentang swastika di dalam karya agungnya itu. Si
pelukis berkumis jojon menggambarkan usahanya merancang bendera yang
cantik:
Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya aku menemukan bentuk yang
pas mantap buat benderaku. Warnanya merah, ada bulatan putih, lalu tepat
di tengahnya terdapat swastika. Juga setelah beberapa kali usaha yang
gagal, akhirnya kutemukan ukuran yang presisi, mantap jaya dan ciamik
abis untuk keseimbangan warna merah dan putih dan yaa ketebalan dan
bentuk swastikanya (kutipan ini berasal dari en.wikipedia, dikutip dari Mein Kampf).
Bayangkan ekspresi wajah Hitler ketika berusaha dengan jiwa seninya
merancang bendera itu! Ia tidak sadar bahwa jiwa seninya hanya akan
merubah untuk selamanya makna dari swastika.
Namun kesalahan tidak bisa dibebankan kepada pundak Hitler saja,
semua malapetaka itu bermula dari jiwa narsistik orang kulit putih yang
baru saja keluar dari goa gelap Dark Age. Bermodal penemuan simbol
serupa swastika di reruntuhan Troy dan pot Jerman, Heinrich Schliemann,
menyimpulkan bahwa pendahulu mereka adalah ras agung bernama Arya yang
memproduksi kebudayaan Vedic (sebuah teori yang kini diejek orang Hindu
India, kata mereka ; trus dimana tu Wedanya orang Jerman? Dasar tukang
klaim lu tong!).
Teori ini terus berkembang dan akhirnya menjadi alat propoganda
supremasi kulit putih oleh ilmuwan-ilmuwan rasis-fasis Nazi seperti
Alfred Rosenberg. Sejak itu, berbagai gerakan fasis dan supremasi rasis
menjadikan swastika sebagai simbol mereka. Gerakan-gerakan rasis itu
tidak peduli bahwa simbol swastika ada pada kebudayaan-kebudayaan yang
dinistakan oleh kulit putih seperti penduduk asli Amerika, Afrika bahkan
Yahudi seklipun.
Swastika yang malang, kini ia menjadi simbol terlarang di banyak
tempat di dunia ini. Tapi sepertinya swastika tidak akan sendiri lagi di
dalam daftar simbol-sial, sebab kalimat syahadat umat Islam tampaknya
akan segera menyusul.
Bermula dari kehebohan ISIS di Timur Tengah, kini “black flag of
Jihadist Islam” menjadi momok di mana-mana. Di tanah air kita,
orang-orang bisa saja ditangkap hanya gara-gara memakai lambang hitam
bertuliskan kalimat syahadat.
Semuanya karena ISIS. Padahal ISIS adalah gerakan perlawanan putus
asa gara-gara kalah perang, sama seperti NAZI. Saya tidak menyamakan
ideologinya, juga tidak membela kedua gerakan tersebut, tapi bagi saya,
secara psikologis keduanya justru memprihatinkan. Terlepas dari semua
kejahatan yang dituduhkan kepadanya.
Keduanya adalah bentuk pemberontakan sebab terlalu lama dinista.
Sebab diluluh lantahkan sekutu, gerakan perlawanan di Irak ini mencari
akarnya, sama seperti Hitler mencari akar budayanya pasca dipencudangi
di PD I. Hitler menemukannya pada kejayaan ras Arya, Ubber Alles. Ia
lalu mengintrepretasikannya secara acak-acakan menjadi ideologi rasis
Nazi.
Milisi pimpinan al-Baghdadi ini pun menemukan (dan menafsirkannya
sesuai faham mereka) akarnya pada ajaran-ajaran Islam. Ajaran tentang
perang mempertahankan harga diri dan nubuat apokaliptik ashab
rayatussud, para pembawa panji bedera hitam. Pasukan terberkahi yang
akan membebaskan pilu umat Islam. Mengobati luka yang menganga berdarah
dimana-mana. Membentuk khilafah berbendera liwa’ dan rayah yang dulu
dibawa Rasulullah. Khilafah yang menyudahi semua kekalahan dan kenistaan
ini.
Seperti Hitler yang memimpikan bangkitnya Reich, agar orang Jerman
mampu berjalan tegak tidak dihina lagi. Niat mulia yang dieksekusi
dengan teror, maka berakhirlah keduanya menjadi gerakan teroris yang
dimusuhi dunia. Simbol baik yang mereka ukir di panji-panji perjuangan
pun akhirnya dilihat dunia sebagai pertanda keburukan. Setan iblis
penjahat teroris!
Seperti semua kekacauan yang diakibatkan oleh orang gila di dunia
ini, orang-orang tidak akan peduli pada prolog yang membuatmu gila.
Mereka hanya akan menghakimimu gara-gara kegilaan itu. Siapa yang peduli
pada serangang sekutu ke Irak dan mitos senajata pemusnah massal,
pokoknya ISIS itu setan alas.
Siapa pula yang peduli kepada arti sesungguhnya dari kalimat yang
tertulis pada panji mereka, pokoknya itu adalah lambang teroris. Maka
turunlah karikatur The Jakarta Post yang segera menuai kontroversi itu.
Ketika itu orang-orang masih banyak yang menudingkan jarinya memarahi
TJP hingga minta maaf, tapi kini?
Karikatur tersebut terbit sebelum hebohnya video WNI pro ISIS yang
diblow up besar-besaran oleh media. Tentu saja media telah menjalankan
tugasnya dengan baik, kini tentu orang-orang akan cepat mengasosiasikan
kalimat tauhid dan stempel Rasulullah dengan gerakan ISIS. Gerakan yang
tidak pernah mereka jelaskan apa hakikatnya itu.
Jika di Indonesia saja sudah gegap gempita, apalagi di Barat sana.
Beberapa waktu yang lalu Mark Dunaway seorang muslim Amerika di New
Jersey membuat heboh gara-gara foto bendera bertuliskan syahadat di
depan rumahnya beredar. Meskipun Dunaway telah mengibarkan bendera hitam
bertuliskan syahadat tahun-tahun sebelumnya, tapi kini ia dapat masalah
gara-gara hal tersebut. Beruntung ia dinilai baik dan “harmless” oleh
tetangga-tetangganya, ia juga mencopot bendera itu dan menjelaskan
maknanya dan berlepas diri dari ISIS.
Dunaway pun terlepas dari masalah, tapi untuk jangka waktu yang
mungkin akan lama, ia tidak berani lagi memasang bendera favoritnya itu.
Peristiwa ini terjadi di Amerika, tempat dimana horor black flag of
Jihadist Islam sudah tertanam di sum-sum kesadaran kolektif
masyarakatnya berkat kerja media. Meski demikian, dengan mendapatkan
penjelasan yang baik ternyata mereka tidak membabi buta menangkap orang
dan menuduhnya teroris hanya karena bendera.
Dunaway berhasil membuat mereka memahami bahwa itu hanya bendera
hitam bertuliskan kalimat syahadat dan tiada sangkut pautnya dengan ISIS
atau krisis Timur Tengah. Setidaknya untuk kasus Dunaway, syahadat
tidak senasib dengan swastika, lalu apakah di Indonesia ini orang-orang
cukup cerdas dan waras seperti tetangga-tetangga Dunaway dan polisi New
Jersey? Semoga.[]