Islamic Article - Media Islam Generasi Baru

Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. QS. 7:81


Berikut ini adalah beberapa Keuntungan Opt-in Form :-

Jumat, 20 Februari 2015

// //

Alasan Klasik Penganut Syiah

Oleh: Ma’mun Afani
Anggota Manajemen Penulis Indonesia

“TIDAKKAH melihat pengungsi Syiah dari Sampang yang sejak 2012 terlantar?” Alasan-alasan seperti ini adalah alasan yang lazim dilontarkan dengan dalih kemanusiaan. Alasan yang sebenarnya sangat mirip seperti dilontarkan para pembela pelacur di lokalisasi, “Kalau lokalisasi dibubarkan mau makan apa keluarga mereka?” Dalihnya lagi-lagi kemanusiaan.

Bila diteliti lebih dalam maka alasan tersebut sebenarnya tidak tepat. Dalam kasus pengungsian penganut Syiah masalah sebenarnya adalah terganggunya penduduk setempat dengan dakwah yang dijalankan oleh penganut Syiah, Tajul Muluk. Artinya penduduk setempat yang terganggu. Maka wajar jika kemudian diusir.
Faktanya detik.com juga melansir bahwa kerusuhan saat itu bermula saat salah seorang masyarakat Sunni terkena bom bondet (untuk mencari ikan) yang berisi gotri yang tertanam di pemukiman, nyawa ketika itu bisa merenggang.

Maka seharusnya dengan alasan kemanusiaan pula justru harus ditanyakan ulang, “Apa Anda hanya diam jika nyawa terancam berulang-ulang?” Oleh sebab itu jangan membalik alasan dengan sengsara di pengungsian karena tidak bisa kembali ke warga sekitar. Apalagi MUI Jawa Timur sudah mengeluarkan fatwa No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 bahwa Syiah bukanlah Islam, maka kehadirannya yang mengganggu penduduk lebih dari enam tahun tidak bisa ditolelir.

Alasan seperti itu sebenarnya sama saja dengan membalik alasan pelacur, “Kenapa tidak berpikir berapa keluarga yang hancur akibat pelacuran? Berapa anak yang rusak karena hidup di pelacuran? Bagaimana jika Ibu Anda menjadi pelacur?” Oleh sebab itu sepatutnya jangan menggunakan lagi alasan klise tersebut apalagi dengan dasar kemanusiaan. Seharusnya tanyakan hati nurani, “Siapa sebenarnya yang tidak manusiawi?”

Wajar jika kemudian paska penyerangan di Majelis Az-Zikra Ust. Arifin Ilham menyerukan untuk jihad mengingat yang mematik sumbu api adalah penganut Syiah itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pernyataannya didahului dengan, “Kami tidak akan berperang kecuali kalau diperangi, sangat biadab masuk ke wilayah kami, menghina kami menginjak-injak kami menculik kami…”

Dari penyampaian tersebut terlihat sangat bijak bahwa seorang muslim akan tetap santun kecuali jika diusik. Maka sangat tidak arif jika hanya melihat kata Jihad yang disuarakan oleh Ust. Arifin Ilham, tapi telusuri mengapa Ust. Arifin Menyuarakan Jihad.

Jika analogi ini diterapkan pada pemasangan spanduk yang mematik emosi dan beralasan, “Jangan salahkan penganut Syiah yang menyerang, tapi salahkan sepanduk yang menolak paham Syiah yang tertempel.” Maka seharusnya penganut Syiah menyadari bahwa spanduk tersebut dalam rangka penegasan sebuah identitas penganut Syiah atau Muslim, terlebih terpampang di masjid Az Zikra yang memang sebagai tempat beribadah umat Islam. spanduk tersebut tak ubahnya seperti menulis, “Kami Islam bukan Kristen”. Ini di wilayah masjid Az Zikra.

Pemasangan spanduk tersebut sebenarnya dilandasi kesadaran bahwa paham Syiah sangat berbahaya, baik dari keberagamaan, maupun keamanan. Dalam Syiah diajarkan bahwa Ahlusunnah adalah Nawasib yang darah dan hartanya halal untuk ditumpahkan. Alasannya tentu saja karena Ahlussunnah mencintai Nabi dan para sahabatnya. Sedangkan para sahabat selain Ali RA. bagi penganut Syiah adalah makhluk yang terkutuk. Pendapat seperti ini sangat mudah ditemukan dalam beragam kitab rujukan Syiah. Oleh sebab itu spanduk tersebut sebenarnya adalah penegasan bahwa kami adalah muslim dan bukan Syiah seperti layaknya dilakukan oleh umat muslim lain di Indonesia.
Read More
// //

Hukum Shalat Jamaah Berdua dengan Wanita yang Bukan Mahram


Bolehkah shalat berdua dg wanita teman kampus di musolah jurusan?. Krn pas waktu shalat, ada teman akhwat yang mengajak jamaah.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan, kecuali dia ditemani mahramnya.” (HR. Bukhari 5233 dan Muslim 1341).

Kemudian dari Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad 177, Turmudzi 2165, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Abu Ishaq as-Syaerozi – ulama syafiiyah – (w. 476 H.) menyatakan,

ويكره أن يصلي الرجل بامرأة أجنبية ; لما روي أن النبي قال : لا يخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان

Makruh (tahrim) seorang laki-laki shalat mengimami seorang wanita yang bukan mahram. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, ”Jangan sampai seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang perempuan. Jika terjadi makhluk ketiganya adalah setan.” (al-Muhadzab, 1/183).

Penjelasan an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab,

المراد بالكراهة كراهة تحريم هذا إذا خلا بها: قال أصحابنا إذا أم الرجل بامرأته أو محرم له وخلا بها جاز بلا كراهة لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة وإن أم بأجنبية وخلا بها حرم ذلك عليه وعليها للأحاديث الصحيحة

Yang dimaksud makruh dari keterangan beliau adalah makruh tahrim (artinya: haram). Ini jika lelaki itu berduaan dengan seorang perempuan. Para ulama madzhab Syafii mengatakan, apabila seorang lelaki mengimami istrinya atau mahramnya, dan berduaan dengannya, hukumnya boleh dan tidak makruh. Karena boleh berduaan dengan istri atau mahram di luar shalat. Namun jika dia mengimami wanita yang bukan mahram dan berduaan dengannya, hukumnya haram bagi lelaki itu dan haram pula bagi si wanita. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4/277).

Bahkan an-Nawawi juga menyebutkan keterangan dari Imam as-Syafii, bahwa beliau mengharamkan seorang laki-laki sendirian, mengimami jamaah wanita, sementara di antara jamaah itu, tidak ada seorangpun lelaki. Kata an-Nawawi,

ونقل إمام الحرمين وصاحب العدة.. أن الشافعي نص على أنه يحرم أن يصلي الرجل بنساء منفردات إلا أن يكون فيهن محرم له أو زوجة وقطع بانه يحرم خلوة رجل بنسوة إلا أن يكون له فيهن محرم

Imamul Haramain dan penulis kitab al-Uddah.., bahwa Imam as-Syafii menegaskan, haramnya seorang laki-laki mengimami jamaah beberapa wanita tanpa lelaki yang lain. Kecuali jika ada diantara jamaah wanita itu yang menjadi mahram si imam atau istrinya. Beliau juga menegaskan, bahwa terlarang seorang lelaki berada sendirian di tengah para wanita, kecuali jika di antara mereka ada wanita mahram lelaki itu. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4/278).

Mengapa Diharamkan?

Sekalipun dalam kondisi ibadah, kita diperintahkan untuk menghindari segala bentuk fitnah. Tak terkecuali fitnah syahwat.

Dalam Syarh Zadul Mustaqni’, Syaikh as-Syinqithy menjelaskan,


وإذا خلا بأجنبية فإنه منهي عن هذه الخلوة لقوله عليه الصلاة والسلام: ما خلا رجلٌ بامرأة إلا كان الشيطان ثالثهما، وقال: (ألا لا يخلون رجلٌ بامرأة) فهذا نهي، قالوا: وبناءً على ذلك لا يصلي الرجل الأجنبي بالمرأة الأجنبية على خلوة؛ لأنه قد يخرج عن مقصود الصلاة إلى الفتنة

Apabila seseorang berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan mahram, hukumnya terlarang. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Jika seorang lelaki berduaan dengan wanita, maka setan yang ketiganya.’ Beliau juga bersabda, ’Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita.’ Ini larangan. Para ulama mengatakan, berdasarkan hal ini, tidak boleh seorang lelaki mengimami shalat dengan wanita yang bukan mahram, secara berdua-duaan. Karena bisa jadi keluar dari tujuan utama yaitu shalat, menjadi sumber fitnah syahwat. (Syarh Zadul Mustaqni’, 3/149).

Hal yang sama juga disampaikan Imam Ibnu Utsaimin,


إذا خَلا بها فإنَّه يحرُمُ عليه أن يَؤمَّها ؛ لأنَّ ما أفضى إلى المُحَرَّمِ فهو محرَّمٌ


Apabila seorang lelaki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, maka haram baginya untuk menjadi imam bagi wanita itu. Karena segala yang bisa mengantarkan kepada yang haram, hukumnya haram. (as-Syarh al-Mumthi’, 4/251).

Kesimpulan:
  1. Landasan Imam as-Syafii menilai haram model jamaah semacam ini adalah hadis larangan berdua-dua-an dengan wanita yang BUKAN MAHRAM.
  2. Yang dihukumi haram adalah kondisi berdua-duaan, yang itu terlarang secara syariat. Jika terjadi jamaah 2 orang lelaki dan perempuan, namun tidak berdua-an, karena di sekitarnya ada beberapa orang yang juga berada di masjid, tidak masalah.
  3. Jika seseorang hendak berjamaah dengan wanita, dia bisa kondisikan, jangan sampai terjadi seperti yang disebutkan dalam artikel. Jika tidak memungkinkan, maka bisa shalat bergantian.
  4. Mengingatkan kesalahan yang dilakukan masyarakat, bagian dari amar makruf nahi munkar. Selama ada landasannya, itu dibenarkan, sekalipun orang bodoh menolaknya
Allahu a’lam.

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Read More

Minggu, 15 Februari 2015

// //

Tidak Bersekutu Dalam Kedzaliman



Suatu ketika dua orang ulama dari kalangan Tabiin (atau mungkin Tabiit-tabiin), Ibnu Thawus dan Malik bin Anas dipanggil untuk menghadap Khalifah Abu Ja’far Al Manshur. Khalifah ke dua dari Daulah Bani Abbasiah ini terkenal dengan kekejamannya dalam menegakkan kekuasaannya, tetapi pada waktu itu ilmu-ilmu keislaman juga mulai berkembang dengan pesatnya, baik itu Fikih, Hadits, Tafsir, dan lain-lainnya. Sebenarnya dua ulama itu kurang senang dengan panggilan tersebut, tetapi mengingat kekejamannya, mereka berdua mendatanginya juga.
Mereka masuk ke majelis al Manshur, dan dipersilahkan duduk pada tempat yang telah disediakan. Ternyata saat itu sang khalifah tengah bersiap mengeksekusi (menghukum mati) seseorang, sang algojo dengan pedang yang terasah tajam siap menerima perintah. Al Manshur tampak terpekur beberapa saat, kemudian menoleh dan berkata kepada Ibnu Thawus, “Ceritakan kepadaku sesuatu tentang ayahmu!!”
Tanpa rasa takut dan tedeng aling-aling, Ibnu Thawus berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang menyekutukan Allah dalam hukum-Nya, lalu memasukkan ketidak-adilan dalam keadilan-Nya!!”
Tentu saja Ibnu Thawus sangat tahu apa yang dikatakannya, dan resikonya karena dikatakan di hadapan penguasa yang sangat terkenal kekejamannya. Tetapi seperti yang pernah disabdakan Nabi SAW, bahwa jihad terbesar adalah kalimat yang benar (haq), yang disampaikan di hadapan penguasa yang dzalim. Malik bin Anas (yakni Imam Malik, yang ‘menyusun’ madzab Maliki dan kitab hadist yang pertama al Muwaththa’) juga khawatir dengan perkataannya itu, jangan-jangan Al Manshur memerintahkan algojonya untuk membunuh Ibnu Thawus. Karena itu ia menutupi dirinya dengan jubahnya agar tidak terpercik darah Ibnu Thawus.
Tetapi beberapa saat berlalu, ternyata Al Manshur hanya diam terpekur, kemudian berkata lagi, “Wahai Ibnu Thawus, berilah aku nasehat!!”
“Baiklah,” Kata Ibnu Thawus lagi, “Tidakkah engkau mendengar Firman Allah SWT :
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? Penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi,
yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Firaun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (yakni siksa yang sepedih-pedihnya), sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi!!”
Kekhawatiran Imam Malik makin meningkat saja. Kalau tadi Ibnu Thawus ‘mengancam’ sang khalifah dengan hadist Nabi SAW, kini meningkatkan ‘ancamannya’ dengan Firman-firman Allah yang tercantum dalam QS Al Fajr ayat 6-14. Lagi-lagi Imam Malik menangkupkan jubahnya kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Ibnu Thawus, yakni dibunuh, dan darahnya akan memercik pada dirinya.
Tetapi seperti sebelumnya, khalifah Al Manshur hanya terpekur mendengar perkataan Ibnu Thawus tersebut, yang jelas-jelas mengkritisi, bahkan mencela ‘kebijakan tangan besi’ yang telah dilakukannya. Ia seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri, kemudian berkata, “Wahai Thawus berikanlah (pinjamilah) tinta (pena/pulpen) kepadaku!!”
Mungkin maksud Al Manshur akan mencatat perkataan atau nasehatnya tersebut, tetapi lagi-lagi Ibnu Thawus menolak memberikannya. Maka sang khalifah berkata, “Apa yang menghalangimu untuk memberikan tinta itu kepadaku??”
Walau nilai atau harga tinta tidaklah seberapa, bahkan mungkin tidak ada nilainya sama sekali bagi Al Manshur, tetapi Ibnu Thawus punya alasan sendiri. Ia berkata, “Aku khawatir kamu menuliskan perintah kemaksiatan (kedzaliman), maka aku bersekutu (terlibat) denganmu dalam kemaksiatan itu!!”
Al Manshur tampak jengkel dengan perkataan Ibnu Thawus itu, tetapi entah mengapa ia tidak bisa atau tidak berani bersikap kejam kepadanya. Ia berkata, “Pergilah kalian dariku!!”
Maka Ibnu Thawus berkata, “Itulah yang memang kami harapkan!!”
Suka ·
Read More

Sabtu, 14 Februari 2015

// //

Siapa Cupid, Si Dewa Cinta ?

Cupid adalah simbol cinta yang paling terkenal. Wujudnya berupa anak laki-laki bersenjata dengan busur dan panah yang menancap ke hati. Tanda panah menunjukkan keinginan dan emosi cinta, dan Cupid mengarahkan panahnya ke Dewa dan Manusia agar mereka jatuh cinta. Cupid selalu memainkan peran dalam perayaan cinta.
Dalam kebudayaan Yunani kuno, ia dikenal sebagai Eros, anak dari Aphrodite, dewi cinta dan kecantikan. Dalam kebudayaan Romawi, ia disebut Cupid, dan ibunya bernama Venus.
Ada sebuah kisah yang sangat menarik tentang Cupid dan Psyche, kekasih Cupid dalam mitologi Romawi. Venus cemburu pada kecantikan Psyche, dan memerintahkan Cupid untuk menghukum Psyche. Tapi sebaliknya, Cupid jatuh cinta kepada Psyche. Dia meminang Psyche untuk menjadi istrinya, tetapi sebagai seorang manusia, dia dilarang untuk memandang Cupid secara langsung.
Psyche sangat bahagia menjalani hubungannya dengan Cupid, sampai adik-adiknya membujuknya untuk memandang Cupid. segera setelah Psyche memandang Cupid, Cupid menghukumnya dengan meninggalkannya. Puri indah dan kebun mereka lenyap juga. Psyche menemukan dirinya sendirian di sebuah lapangan terbuka tanpa tanda-tanda keberadaan orang lain atau Cupid. Saat ia berjalan berusaha untuk menemukan kekasihnya, ia tiba di kuil Venus.
Venus sang dewi cinta ingin membalas dendam kepada Psyche. Ia memberikan serangkaian tugas kepada Psyche yang sulit dan berbahaya.
Sebagai tugas terakhirnya, Psyche diberi kotak kecil dan disuruh bawa ke dunia bawah tanah. Dia diperintahkan untuk mengambil sebagian kecantikan Proserpine, istri Pluto, dan menaruhnya di dalam kotak. Selama perjalanan ia diberi tips untuk menghindari bahaya dari dunia bawah tanah. Dia juga diperingatkan untuk tidak membuka kotak. Tapi Psyche akhirnya tidak bisa menahan godaan untuk membuka kotak tersebut. Tapi bukannya menemukan kecantikan, ia menemukan tidur yang mematikan.
Cupid menemukan sosok Psyche yang tak bernyawa itu di tanah. Dia tidur yang mematikan dari tubuh kekasihnya dan memasukkan kembali ke dalam kotak. Cupid memaafkannya, begitu juga dengan Venus. Para dewa, tergerak oleh cinta Psyche untuk Cupid lalu mengangkat Psyche menjadi seorang dewi.
Saat ini, Cupid dan panahnya telah menjadi simbol cinta yang sangat populer, dan rasa cinta sangat sering dilambangkan dengan dua hati yang tertusuk anak panah, anak panah sang Cupid. [segiempat]
Read More